• Review: Sharia Supervision as a Challenge for Islamic Banking in Nigeria



    Review: Sharia Supervision as a Challenge for Islamic Banking in Nigeria[1]

    Fathan Muhammad
    Mahasiswa S1 Akuntansi Syariah, STEI SEBI

    Perbankan Islam secara global berkembang pesat. Perbankan Islam muncul karena tidak terpenuhinya oleh perbankan konvensional sebuah bank yang beroperasi berdasarkan syariah. Namun tantangan yang dihadapi adalah belum adanya mekanisme standar untuk pengawasan syariah terhadap produk-produknya. Oleh karena itu maka perbankan Islam harus dikelola oleh para ahli terhadap prinsip-prinsip syariah.
    Tulisan ini merupakan upaya untuk mengatasi masalah ijtihad dan ifta’ (Fatwa) diperbankan dan inovasi produk keuangan serta otoritas yang tepat dan bertanggung jawab. Konstituen dari Dewan Syariah, anggota dewan dan kreativitas di bidang perbankan terkait fatwa/resolusi adalah fokus utama dalam tulisan ini.
    1.    Konstituen dari Dewan Syariah di Bank Islam
    Bank syariah merupakan lembaga yang memiliki identitas ganda. Di satu sisi, harus mengikuti peraturan perbankan konvensional namun disisi lain, juga harus mengikuti prinsip-prinsip syariah.
    Pemerintah harus membuat sebuah otoritas yang berperan mengawasi aktvitas bank apakah telah mengikuti peraturan yang ada atau belum. Sedangkan dalam mengawasi kesesuain aktivitas bank terhadap prinsip syariah diawasi oleh dewan syariah setiap bank.
    Dewan Syariah hanya mengeluarkan fatwa ketika diminta oleh bank tersebut sehingga dewan syariah tidak dapat mengawasi operasional bank dan masih kurangnya kebutuhan bank terhadap dewan syariah.
    Idealnya, dewan syariah bank harus terdiri dari dua lembaga yang berbeda tetapi saling terkait, yang pertama menjadi komite riset (Lajinat al-Bahth), sementara yang lain adalah komite pengawasan (Lajinat al-Ishrāf wa al-Raqābah).
    1.1.            Komite Riset (Lajinat Al-Bahth)
    Tugas utama dari komite riset adalah untuk mempelajari setiap aspek dari transaksi yang dilakukan oleh bank, dan menyajikan pandangannya mengenai legalitas suatu produk atau dengan kata lain, riset inilah yang memberikan fatwa mengenai suatu produk.
    Setiap produk dari bank harus melewati komite riset sebelum dapat secara resmi diperkenalkan kepada publik.
    1.2.            Komite Pengawasan (Lajinat Al-Ishrāf Wa Al-Raqābah)
    Komite pengawasan bertugas untuk mengawasi operasional bank mulai dari aktivitasnya sampai prduknya apakah telah sesuai syariah atau belum.
    Keputusan dewan syariah lebih bersifat seperti putusan arbitrase, yaitu keputusan (fatwa) dari dewan syariah tidak mengikat melainkan hanya sebuah nasihat atau himbauan.
    2.    Kualifikasi Anggota Dewan Syariah
    Kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid adalah: paham mengenai bahasa arab, Qur’an, Sunnah, sumber hukum islam lainnya (Ijma’ & Qiyas), Maqashid Syariah, Ushul Fiqh.
    Seorang mujtahid juga memiliki tiga tingkatan, yaitu: mujtahid penuh (al-mujtahid mutlaq) menempati peringkat tertinggi ijtihad, diikuti oleh seorang mujtahid dalam sebuah mazhab (mujtahid madhab), dan sebuah mujtahid pada isu-isu tertentu (mujtahid Masail). Mujtahid yang ada saat ini adalah mujtahid masail yaitu seorang mujtahid yang ahli hanya dalam bidang-bidang tertentu seperi ekonomi syariah, perbankan syariah, dan lainnya.
    2.1.            Pengangkatan Anggota Dewan Syariah
    Praktek umum di bank syariah dan lembaga keuangan saat ini adalah memiliki Dewan Syariah yang dibentuk oleh bank yang bersangkutan.
    3.      Pembuatan Fatwa/Keputusan Terkait Perbankan
    Anggota Dewan Syariah di bank Islam tidak harus membatasi peran mereka untuk sekadar deklarasi halal dan haram. Sebaliknya, mereka harus memberi alternatif setiap kali ada pembatalan dari setiap produk inovatif perbankan.
    Menurut Ibn al-Qayyim, hal yang dilakukan sebelum pengerjaan adalah bukan menutup pintu transaksi haram, tetapi berusaha memberi alternatif dengan menjaga pintu halal terbuka lebar.
    Fungsi dari dewan syariah ialah menfasilitasi kebutuhan transaksi antara bank dan nasabah agar sesuai dengan syariah. Sebagai contoh alternatif dalam fatwa yang berkaitan dengan perbankan islam dapat dilihat dalam akad murobahah.
    Yang menjadi kontroversi sampai saat ini yaitu kotrak dalam murabahah mengikat antara pembeli dan bank. Sedangkan dalam kotrak murabahah tidak boleh adanya keterikatan antara satu sama lain. Caranya dengan memisahkan kotrak antara bank ke supplier dan bank ke nasabah. Tidak boleh saling ketergantungan sesama akad sesuai dengan prinsip kaidah  fikih (Al-DararuYuzal) “Yang Haram haru sdihapuskan”.
    Berdasarkan uraian di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Perbankan syariah saat ini sedang mengalami perkembangan yang pesat, oleh karena itu perlu adanya badan yang mengawasi jalannya praktek syariah di bank syariah tersebut.


    [1]Abdul-Razzaq A. Alaró, Essays on Islam, Islamic Law and Jurisprudence, Ibadan, Nigeria, 2009, pp. 53-72.

    0 komentar

  • Copyright © 2015 - Hamasah - All Right Reserved

    HAMASAH Powered by Blogger - Designed by Y.A