Cara Memanfaatkan Uang Dari Hasil Bunga Bank
Masalah seputar bank, kita perlu merujuk kepada penjelasan ulama kontemporer, yang sempat menjumpai praktek perbankkan.
Pertama, Hukum mengambil bunga bank
Ulama sepakat bahwa bunga bank sejatinya adalah riba. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang hukum mengambil bunga tabungan di bank, untuk kemudian disalurkan ke berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.
Pendapat pertama, bunga bank wajib ditinggal dan sama sekali tidak boleh diambil. Diantara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin. Sebagaimana keterangan beliau di banyak tempat risalah beliau.
Pendapat kedua, dibolehkan mengambil bunga bank, untuk disalurka ke kegiatan sosial kemasyarakatan. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Ibnu Jibrin, ketika ditanya tentang hukum menyalurkan bunga bank untuk para mujahid. Setelah menjelaskan larang menabung di bank kecuali darurat, beliau menegaskan:
....dia boleh mengambil keuntungan yang diberikan oleh bank, semacam bunga, namun jangan dimasukkan dan disimpan sebagai hartanya. Akan tetapi dia salurkan untuk kegiatan sosial, seperti diberikan kepada fakir miskin, mujahid, atau semacamnya. Tindakan ini lebih baik dari pada meninggalkannya di bank, yang nantinya akan dimanfaatkan untuk membangun gereja, menyokong misi kekafiran, dan menghalangi dakwah islam.. (Fatawa Islamiyah, 2/884)
Bahkan Syaikh Muhammad Ali Farkus dalam keterangannya menjelaskan: “Bunga yang diberikan bank, statusnya haram. Boleh disalurkan untuk kemaslahatan umum kaum muslimin dengan niat sedekah atas nama orang yang didzalimi (baca: nasabah). Demikian juga boleh disalurkan untuk semua kegiatan yang bermanfaat bagi kaum muslimin, termasuk diberikan kepada fakir miskin.
Karena semua harta haram, jika tidak diketahui siapa pemiliknya atau keluarga pemiliknya maka hukumnya, harta ini menjadi milik umum, dimana setiap orang berhak mendapatkannya, sehingga digunakan untuk kepentingan umum. Allahu a'lam.
Kedua, menginfakkan bunga bank untuk masjid
Dengan mengambil pendapat ulama yang membolehkan mengambil riba di bank, pertanyaan selanjutnya, bolehkan menyalurkan riba tersebut untuk kegiatan sosial keagamaan, seperti membangun masjid, pesantren atau kegiatan dakwah lainnya?
Pendapat pertama, tidak boleh menggunakan uang riba untuk kegiatan keagamaan. Uang riba hanya boleh disalurkan untuk fasilitas umum atau diberikan kepada fakir miskin. Pedapat ini dipilih oleh Lajnah Daimah (Komite tetap untuk fatwa dan penelitian) Arab Saudi. Sebagaimana dinyatakan dalam fatwa no. 16576.
Pendapat ini juga difatwakan Penasehat Syariah Baitut Tamwil (Lembaga Keuangan) Kuwait. Dalam fatwanya no. 42. Mereka beralasan mendirikan masjid harus bersumber dari harta yang suci. Sementara harta riba statusnya haram.
Pendapat kedua, boleh menggunakan bunga bank untuk membangun masjid. Karena bunga bank bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat. Jika boleh digunakan untuk kepentingan umum, tentu saja untuk kepentingan keagamaan tidak jadi masalah. Diantara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Abdullah bin Jibrin. Sebagaimana dikuti dalam Fatawa Islamiyah, 2/885.
Ketiga, Menggunakan riba untuk membayar pajak
Setelah menjelaskan haramnya membungakan uang di bank, Syaikh Muhamad Ali Farkus menyatakan:
Jika uang yang disimpan menghasilkan tambahan bunga (riba) maka pemiliknya wajib bertaubat dari kedzalimannya, karena memakan uang orang lain dengan cara yang tidak benar. Bukti taubatnya adalah dengan membersihkan diri dari harta haram yang bukan miliknya dan tidak pula milik bank. Akan tetapi uang haram ini menjadi harta umum, yang harus dikembalikan untuk kepentingan umum kaum muslimin atau diberikan kepada fakir miskin. Mengingat ada halangan dalam hal ini, berupa tidak diketahuinya orang yang didzalimi dalam transaksi riba ini, karena hartanya diambil untuk bunga. Karena uang riba yang ditambahkan adalah uang umum yang dimiliki seluruh kaum muslimin. Sementara seseorang tidak boleh membayar pajak yang menjadi tanggungannya dengan harta milik orang lain tanpa minta izin....
Demikian pula yang difatwakan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah di bawah bimbingan Syaikh Dr. Abdullah al-Faqih. Dalam fatwanya no. 23036 dinyatakan:
Membayar pajak dengan bunga bank, hukumnya tidak boleh, karena pembayaran pajak akan memberikan perlindungan bagi harta pemiliknya, sehingga dia telah memanfaatkan riba yang haram ini.
Perhatian!!
Bunga bank yang ada di rekening nasabah, sama sekali bukan hartanya. Karena itu, dia tidak boleh menggunakan uang tersebut, yang manfaatnya kembali kepada dirinya, apapun bentuknya. Bahkan walaupun berupa pujian. Oleh sebab itu, ketika anda hendak menyalurkan harta riba, pastikan bahwa anda tidak akan mendapatkan pujian dari tindakan itu. Mungkin bisa anda serahkan secara diam-diam, atau anda jelaskan bahwa itu bukan uang anda, atau itu uang riba, sehingga penerima yakin bahwa itu bukan amal baik anda.
Sumber : Pengusaha Muslim
Pertama, Hukum mengambil bunga bank
Ulama sepakat bahwa bunga bank sejatinya adalah riba. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang hukum mengambil bunga tabungan di bank, untuk kemudian disalurkan ke berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.
Pendapat pertama, bunga bank wajib ditinggal dan sama sekali tidak boleh diambil. Diantara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin. Sebagaimana keterangan beliau di banyak tempat risalah beliau.
Pendapat kedua, dibolehkan mengambil bunga bank, untuk disalurka ke kegiatan sosial kemasyarakatan. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Ibnu Jibrin, ketika ditanya tentang hukum menyalurkan bunga bank untuk para mujahid. Setelah menjelaskan larang menabung di bank kecuali darurat, beliau menegaskan:
....dia boleh mengambil keuntungan yang diberikan oleh bank, semacam bunga, namun jangan dimasukkan dan disimpan sebagai hartanya. Akan tetapi dia salurkan untuk kegiatan sosial, seperti diberikan kepada fakir miskin, mujahid, atau semacamnya. Tindakan ini lebih baik dari pada meninggalkannya di bank, yang nantinya akan dimanfaatkan untuk membangun gereja, menyokong misi kekafiran, dan menghalangi dakwah islam.. (Fatawa Islamiyah, 2/884)
Bahkan Syaikh Muhammad Ali Farkus dalam keterangannya menjelaskan: “Bunga yang diberikan bank, statusnya haram. Boleh disalurkan untuk kemaslahatan umum kaum muslimin dengan niat sedekah atas nama orang yang didzalimi (baca: nasabah). Demikian juga boleh disalurkan untuk semua kegiatan yang bermanfaat bagi kaum muslimin, termasuk diberikan kepada fakir miskin.
Karena semua harta haram, jika tidak diketahui siapa pemiliknya atau keluarga pemiliknya maka hukumnya, harta ini menjadi milik umum, dimana setiap orang berhak mendapatkannya, sehingga digunakan untuk kepentingan umum. Allahu a'lam.
Kedua, menginfakkan bunga bank untuk masjid
Dengan mengambil pendapat ulama yang membolehkan mengambil riba di bank, pertanyaan selanjutnya, bolehkan menyalurkan riba tersebut untuk kegiatan sosial keagamaan, seperti membangun masjid, pesantren atau kegiatan dakwah lainnya?
Pendapat pertama, tidak boleh menggunakan uang riba untuk kegiatan keagamaan. Uang riba hanya boleh disalurkan untuk fasilitas umum atau diberikan kepada fakir miskin. Pedapat ini dipilih oleh Lajnah Daimah (Komite tetap untuk fatwa dan penelitian) Arab Saudi. Sebagaimana dinyatakan dalam fatwa no. 16576.
Pendapat ini juga difatwakan Penasehat Syariah Baitut Tamwil (Lembaga Keuangan) Kuwait. Dalam fatwanya no. 42. Mereka beralasan mendirikan masjid harus bersumber dari harta yang suci. Sementara harta riba statusnya haram.
Pendapat kedua, boleh menggunakan bunga bank untuk membangun masjid. Karena bunga bank bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat. Jika boleh digunakan untuk kepentingan umum, tentu saja untuk kepentingan keagamaan tidak jadi masalah. Diantara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Abdullah bin Jibrin. Sebagaimana dikuti dalam Fatawa Islamiyah, 2/885.
Ketiga, Menggunakan riba untuk membayar pajak
Setelah menjelaskan haramnya membungakan uang di bank, Syaikh Muhamad Ali Farkus menyatakan:
Jika uang yang disimpan menghasilkan tambahan bunga (riba) maka pemiliknya wajib bertaubat dari kedzalimannya, karena memakan uang orang lain dengan cara yang tidak benar. Bukti taubatnya adalah dengan membersihkan diri dari harta haram yang bukan miliknya dan tidak pula milik bank. Akan tetapi uang haram ini menjadi harta umum, yang harus dikembalikan untuk kepentingan umum kaum muslimin atau diberikan kepada fakir miskin. Mengingat ada halangan dalam hal ini, berupa tidak diketahuinya orang yang didzalimi dalam transaksi riba ini, karena hartanya diambil untuk bunga. Karena uang riba yang ditambahkan adalah uang umum yang dimiliki seluruh kaum muslimin. Sementara seseorang tidak boleh membayar pajak yang menjadi tanggungannya dengan harta milik orang lain tanpa minta izin....
Demikian pula yang difatwakan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah di bawah bimbingan Syaikh Dr. Abdullah al-Faqih. Dalam fatwanya no. 23036 dinyatakan:
Membayar pajak dengan bunga bank, hukumnya tidak boleh, karena pembayaran pajak akan memberikan perlindungan bagi harta pemiliknya, sehingga dia telah memanfaatkan riba yang haram ini.
Perhatian!!
Bunga bank yang ada di rekening nasabah, sama sekali bukan hartanya. Karena itu, dia tidak boleh menggunakan uang tersebut, yang manfaatnya kembali kepada dirinya, apapun bentuknya. Bahkan walaupun berupa pujian. Oleh sebab itu, ketika anda hendak menyalurkan harta riba, pastikan bahwa anda tidak akan mendapatkan pujian dari tindakan itu. Mungkin bisa anda serahkan secara diam-diam, atau anda jelaskan bahwa itu bukan uang anda, atau itu uang riba, sehingga penerima yakin bahwa itu bukan amal baik anda.
Sumber : Pengusaha Muslim
Pemberdayaan Zakat Untuk Kemajuan Ekonomi Umat
Depok, Jawa Barat. Alhamdulillah telah dilaksanakan seminar IAEI yang ke 11 di Kampus STEI SEBI. Menghadirkan 3 pembicara yaitu Irfan Syauqi Beik Phd., Endang Ahmad Yani dan Tomy Hendrajati, ketiga pembicara tersebut mengupas secara tuntas zakat dikaitkan dari sisi keilmuan, praktek dan kelembagaan dari zakat yang telah berjalan dimasyarakat. Acara tersebut di buka oleh Tim Nasyid dari STEI SEBI dengan Keynote Specch oleh Bapak Drs. Agustianto M.Ag (Ketua 1 Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI))
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Peneliti STEI SEBI yaitu Endang Ahmad Yani mendeskripsikan bahwa BAZ dan LAZ belum mendapatkan kepercayaan publik. Bahkan pada beberapa daerah PNS sendiri masih enggan membayar Zakat melalui BAZ. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap fiqih Zakat. Hal utama yang mengakibatkan Zakat nilainya menjadi kecil dibanding potensinya karena pemahaman masyarakat yang salah. Misalkan ketika sudah membayar Zakat fitrah maka Zakat harta dan Zakat profesi tidak perlu lagi dibayar dan Masyarakat masih memandang bahwa membayar Zakat secara langsung ke mustahiq lebih baik.
Kaitannya dengan itu PKPU sebagai salah satu NGO di Indonesia yang memiliki program pengembangan masyarakat menengah kebawah, dan program yang pernah dilakukan diantarannya, Pengembangan Desa Muncang Menjadi Sentra Produksi Pisang Ambon, Peningkatan jumlah penerima manfaat dari 30 orang pada awal program menjadi 50 orang, pengembangan jaringan marketing bagi pemasaran produk pertanian masyarakat, pendirian kelompok tani “Waluya” yang berperan sebagai sarana dan keberlanjutan program terkait sistem produksi dan marketing setelah program berakhir, dan Penggalian potensi masyarakat melalui kerjasama antara masyarakat, LSM (PKPU) dan akademisi (IPB).
PKPU juga mengaharapkan pelaksanaan program dapat terus didukung melalui pengembangan dari sektor zakat. Potensi Zakat Nasional pada tahun 2012 adalah 3,4 % PDB atau sebesar Rp. 217 Triliun. Proyeksi lima tahun BAZNAS selama 5 tahun kedepan diharapkan juga terus meningkat melalui proyeksi Fondasi, Konsolidasi, pertumbuhan, percepatan dan pemantapan.
Kesimpulannya singkronisasi dalam terhadap perdayaan zakat dalam pengembangan ekonomi umat perlu dilaksanakan dengan baik dan perubahan dalam sikap untuk membayar zakat perlu digencarkan lagi. Acara tersebut dihadiri oleh akademisi, praktisi BUMN dan Kementrian Keuangan RI.
Sumber : IAEI
Harga Beras Indonesia Lebih Mahal 10% dari Beras Impor
Jakarta -Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia termasuk yang paling murah di kawasan. Namun untuk harga beras justru lebih mahal dari produk impor.
Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan kesenjangan harga beras lokal lebih mahal 10% dari produk impor. "Perbedaan harga memang bisa sampai 10% selisih," kata Sutarto di Kantor Kementerian Pertanian, Senin (17/11/2014).
Perbedaan harga ini menjadi ancaman tersendiri bagi petani di Indonesia. Apa lagi, jelang pasar bebas ASEAN akhir tahun depan, produk-produk negara lain akan masuk dengan bebas ke Indonesia.
Soetarto menyebut petani Indonesia bisa tertekan karena masuknya beras impor. "Beras kita lebih mahal, mereka masuk bebas petani kita tidak bergairah," katanya.
Ia menegaskan hal ini bisa menjadi perhatian utama pemerintahan baru. Menurutnya untuk mengantisipasi hal tersebut adalah dengan meningkatkan produksi agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Solusinya harus cukupkan stok supaya beras luar nggak ada ruang untuk masuk," katanya.
Harga beras impor memang cukup 'miring' dibandingkan beras lokal. Misalnya beras impor Bulog jenis premium atau beras super harganya cuma Rp 7.600/Kg, sedangkan beras sejenis di dalam negeri jauh di atasnya.
Sumber : detik finance
Langganan:
Postingan (Atom)
0 komentar